Tuesday, 19 December 2017

Perda HIV/AIDS di Tanah Papua


Mencegah Penyebaran HIV tanpa Menghilangkan ‘Hak’ Kepala Kampung atau Kepala Suku
Ada kabar tentang beberapa kepala kampung di wilayah kabupaten di kawasan Pegunungan Tengah yang mengidap HIV/AIDS. “Itu memang benar, tetapi saya juga belum tahu persis data pastinya,” aku Sekretaris KPA Provinsi Papua H Sudjarwo, BE (Ditenggarai Sejumlah Kepala Kampung Terinfeksi HIVwww.cenderawasihpos.com, 21/1-2012).
Mengapa kasus HIV/AIDS pada kepala kampung di Papua itu menjadi persoalan? Soalnya, infeksi HIV ’kan tidak berbeda pada rakyat, pejabat, pemuka agama, pemuka masyarakat, wartawan, tentara, polisi, perampok, dll.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Tanah Papua sudah merata di semua kalangan. Di Prov Papua, misalnya, sudah terdeteksi 10.000-an kasus HIV/AIDS. Angka ini tentu saja tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.
Kabarnya, di beberapa komunitas etnis di Papua ada semacam ’budaya’ yang memberikan ’hak’ kepada kepala suku ’meniduri’ perempuan di komunitasnya. Jika dikaitkan dengan realitas sosial ini maka infeksi HIV/AIDS pada kepala kampung atau kepala suku memang jadi persoalan besar karena kepala kampung atau kepala suku menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal melalui hubungan seksual di komunitasnya.
Sayang, sampai sekarang penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua (Prov Papua dan Prov Papua Barat) dilakukan dengan pijakan moral. Lihat saja peraturan daeran (perda) penanggulangan HIV/AIDS dan IMS yang ada di sana (Lihat Tabel).
Dalam perda-perda AIDS itu sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara pencegahan yang konkret. Semua hanya berpijak pada moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa ditanggulangi dengan teknologi kedokteran.
Perda AIDS Prov Papua yang terbaru, misalnya, justru ada pasal yang melanggar hak asasi manusia (HAM) yaitu pemulangan PSK yang terdeteksi HIV di sana. Padahal, bisa saja yang menularkan HIV kepada PSK itu justru penduduk asli lokal Bahkan, belakangan ini di Prov Papua malah mengedepankan sunat (sirkumsisi) sebagai cara mencegah penularan HIV. Padahal, sunat hanya menurunkan risiko penularan HIV pada kepala penis, sedangan penularan melalui batang penis tidak terlindungi  Disebutkan dalam berita: ” ....   KPA akan menyusun satu strategis penanggulangan HIV di wilayah Pegununagn Tengah. Selain itu akan ada kebijakan atau program untuk penguatan bagi para Kepala Kampung di sejumlah kabupaten di Provinsi Papua, bahkan dana ....”
Selama program tidak menyentuh akar persoalan, maka program penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua tidak akan berhasil.
Yang perlu diperhatikan adalah faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV yaitu hubungan seksual yang berisiko yang mereka lakukan tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung.
Sayang, dalam perda-perda itu justru tidak ada pasal yang menukik ke faktor risiko itu, yaitu mewajibkan laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Maka, program yang konkret adalah memutus mata rantai penyebaran HIV melalui hubungan seksual tanpa menghilangkan ’hak’ kepala kampung atau kepala suku. 
Sumber : https://www.kompasiana.com/infokespro/memutus-mata-rantai-penyebaran-hiv-aids-di-tanah-papua_550d7c40a33311b0142e3ce2