Anak-anak dusun Kopkak Korowai sedang belajar di sekolah darurat yang dibangun oleh Kopkedat - Jubi/IST
Sentani - Komunitas Peduli Kemanusiaan
Daerah Terpencil (Kopkedat) di Papua minta pemerintah daerah membantu
meringankan beban sesama anak bangsa secara khusus bagi suku Korowai dan
Kopkak, dua suku tertinggal di bagian selatan Papua.
Ketua
Kopkedat, Yan Akobiarek, yang saat ini berada di Korowai guna membantu
masyarakat disana di bidang pendidikan mengatakan banyak sekali anak usia
sekolah di dua suku ini yang tinggal tanpa mengenal baca dan tulis alias buta
huruf.
"Tahun
2016 waktu kami baru tiba di Korowai, jumlah orang dewasa sekitar 113 orang,
yang tersebar di beberapa dusun di kampung Brukmakot. Sementara jumlah
anak-anak sekitar 50 anak. Semuanya dalam kondisi tidak bisa membaca dan
menulis," jelas Yan Akobiarek, melalui pesan singkat yang dikirim kepada
Jubi di Sentani, Kamis (12/10/2017).
Dikatakan,
sejak Kopdekat beraktivitas di Korowai, di dua dusun ini telah dibangun sekolah
darurat untuk menampung dan mendidik anak-anak di daerah ini untuk belajar
membaca dan menulis.
Dari
upaya sudah dilakukan, ada lima anak Korowai yang kini disekolahkan di Wamena.
Dua anak sekolah di SD, satu anak di SMP, dan dua lainnya kuliah di Sekolah
Teologia Reformasi Wamena.
"Kami
berupaya dengan apa yang kami punya sebagai pekerja dan peduli terhadap
kemanusiaan di daerah terpencil. Kami sangat berharap pemerintah daerah yang
ingin membangun sarana pendidikan di lima wilayah adat di Papua, memasukkan
Korowai sebagai salah satunya. Sudah 17 tahun mereka hanya menjadi penonton di
era otonomi khusus Papua," ujar Yan Akobiarek.
Hal
senada disampaikan Yesaya Pahabol, seorang anggota Kopkedat, yang biasanya
bergantian dengan Yan Akobiarek, melaksanakan tugas kemanusiaan di Korowai.
Yesaya mengatakan pemerintah jangan menutup mata terhadap keberadaan masyarakat
yang hidup dalam kondisi terbelakang tanpa bantuan apapun kepada mereka.
Padahal mereka ini masih dalam wilayah otonom Papua.
"Kenyataan
yang kita lihat dan dirasakan oleh saudara-saudara kita di Korowai apa? Makan
nasi atau mencium aroma teh panas untuk diminum itu seperti sesuatu yang
berharga dan langka bagi mereka. Pernah ada pejabat yang turun ke Korowai
untuk melihat dari dekat kondisi mereka. Tetapi itu hanya sebuah kunjungan
seremonial saja tanpa ada langkah tindak lanjut dan kebijakan yang membawa
perbaikan kondisi masyarakat Korowai yang hingga kini masih terbelakang,"
ungkapnya dengan nada kesal.
Yesaya
mengatakan kondisi ini sesungguhnya bukan saja dilupakan oleh mereka yang ada
di pusat pemerintahan di Jakarta. Tetapi juga di Papua yang sangat dekat dengan
kondisi nyata di lapangan.
“Kondisi
seperti ini yang dapat dikatakan Papua bunuh Papua sendiri,” katanya.
Yesaya
mengakui ada sejumlah pihak yang menunjukkan kepeduliannya dengan mengirim
bantuan berupa pakaian layak pakai dan buku tulis serta fasilitas pendukung proses
belajar mengajar, yang boleh dibilang seadanya saja.
“Yang
sesungguhnya diharapkan masyarakat disana bukan sekedar bantuan yang sifatnya
temporer tetapi mereka benar-benar menjadi bagian dalam wilayah pembangunan
Papua secara khusus dan NKRI pada umumnya," kata Yesaya menutup
pembicaraan.
Sumber
:Tabloid Jubi