Jayapura – Berdasar penelitian terbaru dari
beberapa ilmuan mengatakan, bahwa gula dapat memicu penyakit Kanker. Kanker
tersebut lebih cenderung berada di paru-paru, kepala dan leher, kerongkongan
dan leher rahim. Terkait dengan kandungan gula, jenis kanker yang sangat
bergantung pada gula untuk pertumbuhannya adalah Karsinoma sel skuamosa (Squamous
cell carcinoma-SqCC) yakni salah satu jenis kanker kulit non-melanoma atau
tidak ganas.
Demikian peneliti dari Universitas Texas, di Dallas,
Amerika Serikat. Peneliti utama, Dr. Jung-Whan Kim mengatakan, bentuk penyakit
kanker kulit tersebut menggunakan kadar protein yang lebih tinggi, yang membawa
glukosa ke sel untuk memungkinkan kanker berkembang biak.
“Telah diduga bahwa banyak sel kanker sangat
bergantung pada gula sebagai pasokan energi mereka. Tapi ternyata, satu jenis
spesifik yakni karsinoma sel skuamosa, sangat tergantung pada gula. Jenis
kanker ini jelas karena penderita banyak mengonsumsi gula,” ujarnya, seperti
dikutip dari laman Daily Mail, Sabtu (27/5/2017).
Temuan yang telah ditulis di Jurnal Nature
Communications ini mengingatkan budaya “kecanduan gula” di kalangan masyarakat.
Padahal, konsumsi gula yang berlebihan tidak hanya menjadi masalah yang dapat
menyebabkan komplikasi seperti diabetes, tetapi dari penelitian ini membuktikan
beberapa jenis kanker sangat bergantung pada gula untuk perkembangannya.
“Kami ingin tahu dari sudut pandang ilmiah, apakah
kita bisa mempengaruhi perkembangan kanker dengan perubahan pola makan,”
jelasnya.
Sementara itu, Cancer Research Inggris memperjelas
bahwa sel kanker tidak hanya bergantung pada gula untuk pertumbuhannya, karena
mereka juga bergantung pada asam amino dan lemak. Temuan baru muncul setelah
peneliti melihat perbedaan antara dua subtipe utama kanker paru-paru sel kecil
– adenokarsinoma (ADC) dan SqCC.
Sekitar seperempat dari semua kanker paru-paru adalah
SqCC, yang telah sulit diobati dengan terapi yang ditargetkan. Studi ini
pertama kali diketemukan dalam The Cancer Genome Atlas, yang memetakan
informasi tentang 33 jenis kanker yang dikumpulkan dari lebih dari 11.000
pasien. Berdasarkan data tersebut, ditemukan protein yang bertanggung jawab
untuk mengangkut glukosa ke dalam sel hadir pada tingkat yang jauh lebih tinggi
pada SqCC paru daripada di paru-paru.
Protein, yang disebut transporter glukosa 1, atau
GLUT1, mengambil glukosa ke dalam sel, di mana gula tersebut menyediakan sumber
energi fundamental dan metabolisme sel bahan bakar. Karena tingkat GLUT1 yang
tinggi terlibat dalam nafsu makan SqCC untuk gula, para peneliti memeriksa
jaringan paru-paru manusia, mengisolasi sel kanker paru-paru dan hewan untuk
menemukan bukti adanya kaitan tersebut.
“Kami melihat ini dari beberapa sudut eksperimental
yang berbeda, dan secara konsisten, GLUT1 sangat aktif dalam subtipe kanker
skuamosa. Adenokarsinoma jauh lebih sedikit bergantung pada gula. Studi kami
adalah yang pertama menunjukkan secara sistematis bahwa metabolisme kedua
subtipe ini memang berbeda dan unik,” Profesor Kim menambahkan.
Penelitian ini juga meneliti efek inhibitor GLUT1 pada
sel kanker paru-paru terisolasi dan tikus dengan kedua jenis kanker paru
non-sel kecil. Ketika tikus diberi inhibitor, pertumbuhan SqCC mereka melambat,
tapi ini justru berlawanan dengan adenokarsinoma. Temuan menunjukkan bahwa
GLUT1 bisa menjadi target potensial untuk terapi obat baru, terutama untuk
SqCC. Studi ini juga menemukan tingkat GLUT1 jauh lebih tinggi pada empat jenis
kanker sel skuamosa lainnya dari kepala dan leher, kerongkongan dan leher
rahim.
Terkait hasil penelitian ini, Dr Justine Alford,
petugas informasi ilmu pengetahuan senior Cancer Research Inggris, mengatakan
penelitian di sel dan tikus ini tidak melihat hubungan antara gula dalam
makanan dan risiko kanker. Sebaliknya, ini menunjukkan perbedaan yang menarik
dalam cara dua jenis kanker paru-paru masuk dan menggunakan gula, yang menurut
para periset dapat digunakan sebagai cara untuk mendiagnosis dan menargetkan
penyakit di masa depan.
“Semua sel – baik yang menggunakan kanker maupun yang
sehat – gunakan gula, jadi tidak perlu dikhawatirkan oleh penelitian ini,”
ujarnya.
Sumber: PAPUANEWS.ID