Ilustrasi konten porno. Getty Images/iStockphoto
Jangan terlalu banyak nonton
bokep jika tak ingin karier hancur dan pasangan minggat. “Segala
sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.”
Mel, insinyur struktur bangunan usia 26 tahun, mesti memahami adagium tersebut dengan cara yang amat keras. Setelah lulus kuliah, ia ditawari pekerjaan yang menjanjikan di sebuah kota kecil yang berjarak beberapa ratus kilometer dari kampung halamannya.
Mel, seorang pekerja keras, mudah dapat promosi dari bosnya. Posisi dan gaji baru membuat Mel mampu untuk membeli sebuah kondominium bermutu bagus. Pendek kata, hidupnya serba berkecukupan. Kecuali untuk satu hal: ia jomblo, sehingga kerap kesepian.
Namun pencariannya akan pasangan terkendala oleh statusnya sebagai orang baru di kota tempat ia bekerja. Lama-kelamaan stresnya menumpuk, lalu ia alihkan dengan lebih lama bermain laptop, dan tak lama kemudian menemukan kanal berkonten video porno. Durasi nontonnya mula-mula sebentar, tapi lama-lama bertambah. Pada suatu hari, ia sampai pada titik di mana merasa harus menonton film porno dalam durasi empat hingga lima jam per malam.
Dalam jangka waktu beberapa bulan, genre film pornonya berubah dari yang kategori biasa hingga yang tak lazim. Jika di awal mula ia merasa jijik dengan film porno berbumbu kekerasan, kini ia menyukainya. Dulu ia tak suka dengan pornografi yang melibatkan anak di bawah umur, kini ia terbiasa menontonnya.
Jika ia dulu merasa video porno bernarasi hubungan seksual dengan keluarga sendiri hanya untuk orang-orang “sakit”, sekarang ia tak mampu membangkitkan gairah birahi tanpa menontonnya.
Mel juga selalu masturbasi. Bahkan bisa berkali-kali dalam sehari, termasuk di ruangan kantornya atau di toilet. Saat jam makan siang maupun pulang kantor. Tanpa disadari, produktivitas kerjanya menurun drastis sehingga sering ditegur atasannya. Ia tak bisa berkonsentrasi di kantor, apalagi jika tak diselingi dengan menonton video porno. Apesnya lagi, pada suatu hari seorang rekan perempuan di kantor memergoki kebiasaannya itu dan segera melapor ke atasan. Atasan Mel menemukan kenyataan yang lebih tak lazim lagi: Mel juga punya kebiasaan mengunduh gambar-gambar porno yang tergolong ilegal. Polisi kemudian dilibatkan dalam kasus ini. Namun, karena Mel dianggap perlu penanganan psikiater, pihak berwajib tak meneruskan kasusnya.
Mel kehilangan pekerjaannya, dan dalam waktu singkat juga kehilangan kondominiumnya serta masa depannya. Mel yang menganggur tinggal bersama orangtuanya. Ia dirundung penyesalan, kebingungan, dan rasa malu yang tak berkesudahan.
Kisah di atas dinarasikan oleh ahli kecanduan seksual Robert Weiss di kanal PsyCentral untuk jadi pembelajaran orang-orang: candu porno sangat bisa untuk merusak kariermu. Weiss telah menjalani profesinya selama 20 tahun dan telah berhadapan dengan Mel-Mel lainnya.
Situasinya banyak yang mirip: orang-orang kesepian atau terlalu banyak beban kerja melarikan diri ke kanal pornografi, namun tak bisa serta-merta lepas darinya hingga akhirnya mengganggu aktivitas harian yang seharusnya diprioritaskan.
Belum ada definisi yang baku untuk mengatakan seseorang sudah kecanduan film porno atau belum. Dr. Bharat Shah, psikiater dari Lilavati Hospital, Mumbai, India, punya versinya sendiri. Kepada Times of India, ia menyebutkan ciri-ciri pecandu pornografi antara lain:
(1) Menghabiskan lebih dari sepuluh jam dalam seminggu untuk menonton video porno, (2) Mengalami masalah ereksi, ejakulasi, dan hubungan seks normal, (3) merencanakan seharian untuk nonton pornografi, (4) lebih memilih nonton video porno ketimbang bertemu teman atau keluarga, (5) menonton video porno diperlakukan sebagai kegiatan rekreasi, yakni aktivitas untuk membuang bosan dan membuat yang bersangkutan bersemangat lagi, dan (6) merasa bersalah dan menegur diri sendiri usai menonton (dan masturbasi), tapi di lain waktu tetap nonton lagi.
Mel, insinyur struktur bangunan usia 26 tahun, mesti memahami adagium tersebut dengan cara yang amat keras. Setelah lulus kuliah, ia ditawari pekerjaan yang menjanjikan di sebuah kota kecil yang berjarak beberapa ratus kilometer dari kampung halamannya.
Mel, seorang pekerja keras, mudah dapat promosi dari bosnya. Posisi dan gaji baru membuat Mel mampu untuk membeli sebuah kondominium bermutu bagus. Pendek kata, hidupnya serba berkecukupan. Kecuali untuk satu hal: ia jomblo, sehingga kerap kesepian.
Namun pencariannya akan pasangan terkendala oleh statusnya sebagai orang baru di kota tempat ia bekerja. Lama-kelamaan stresnya menumpuk, lalu ia alihkan dengan lebih lama bermain laptop, dan tak lama kemudian menemukan kanal berkonten video porno. Durasi nontonnya mula-mula sebentar, tapi lama-lama bertambah. Pada suatu hari, ia sampai pada titik di mana merasa harus menonton film porno dalam durasi empat hingga lima jam per malam.
Dalam jangka waktu beberapa bulan, genre film pornonya berubah dari yang kategori biasa hingga yang tak lazim. Jika di awal mula ia merasa jijik dengan film porno berbumbu kekerasan, kini ia menyukainya. Dulu ia tak suka dengan pornografi yang melibatkan anak di bawah umur, kini ia terbiasa menontonnya.
Jika ia dulu merasa video porno bernarasi hubungan seksual dengan keluarga sendiri hanya untuk orang-orang “sakit”, sekarang ia tak mampu membangkitkan gairah birahi tanpa menontonnya.
Mel juga selalu masturbasi. Bahkan bisa berkali-kali dalam sehari, termasuk di ruangan kantornya atau di toilet. Saat jam makan siang maupun pulang kantor. Tanpa disadari, produktivitas kerjanya menurun drastis sehingga sering ditegur atasannya. Ia tak bisa berkonsentrasi di kantor, apalagi jika tak diselingi dengan menonton video porno. Apesnya lagi, pada suatu hari seorang rekan perempuan di kantor memergoki kebiasaannya itu dan segera melapor ke atasan. Atasan Mel menemukan kenyataan yang lebih tak lazim lagi: Mel juga punya kebiasaan mengunduh gambar-gambar porno yang tergolong ilegal. Polisi kemudian dilibatkan dalam kasus ini. Namun, karena Mel dianggap perlu penanganan psikiater, pihak berwajib tak meneruskan kasusnya.
Mel kehilangan pekerjaannya, dan dalam waktu singkat juga kehilangan kondominiumnya serta masa depannya. Mel yang menganggur tinggal bersama orangtuanya. Ia dirundung penyesalan, kebingungan, dan rasa malu yang tak berkesudahan.
Kisah di atas dinarasikan oleh ahli kecanduan seksual Robert Weiss di kanal PsyCentral untuk jadi pembelajaran orang-orang: candu porno sangat bisa untuk merusak kariermu. Weiss telah menjalani profesinya selama 20 tahun dan telah berhadapan dengan Mel-Mel lainnya.
Situasinya banyak yang mirip: orang-orang kesepian atau terlalu banyak beban kerja melarikan diri ke kanal pornografi, namun tak bisa serta-merta lepas darinya hingga akhirnya mengganggu aktivitas harian yang seharusnya diprioritaskan.
Belum ada definisi yang baku untuk mengatakan seseorang sudah kecanduan film porno atau belum. Dr. Bharat Shah, psikiater dari Lilavati Hospital, Mumbai, India, punya versinya sendiri. Kepada Times of India, ia menyebutkan ciri-ciri pecandu pornografi antara lain:
(1) Menghabiskan lebih dari sepuluh jam dalam seminggu untuk menonton video porno, (2) Mengalami masalah ereksi, ejakulasi, dan hubungan seks normal, (3) merencanakan seharian untuk nonton pornografi, (4) lebih memilih nonton video porno ketimbang bertemu teman atau keluarga, (5) menonton video porno diperlakukan sebagai kegiatan rekreasi, yakni aktivitas untuk membuang bosan dan membuat yang bersangkutan bersemangat lagi, dan (6) merasa bersalah dan menegur diri sendiri usai menonton (dan masturbasi), tapi di lain waktu tetap nonton lagi.
Pecandu Porno Bak Pecandu
Narkoba
Kritik Weiss di awal tulisan mirip dengan
kegelisahan para psikolog yang mendalami candu seks: pangkal persoalannya bisa
ditarik dari revolusi produk teknologi dan internet yang menjadikan konten
pornografi kian gampang diakses masyarakat umum.
Dalam pengalaman pribadi Weiss, mencari konten porno di pertengahan 1990-an membutuhkan usaha yang cukup kompleks: pakai baju, kendarai mobilmu, tuju bagian kumuh kota, dan beli majalah berisi perempuan bugil dengan pose menantang—tanpa ketahuan tetangga, bos, dan tentu saja si istri.
Kini, kata penulis buku Always Turned On: Sex Addiction in the Digital Age itu, bermodal ponsel pintar atau laptop yang tersambung ke internet, seseorang bisa menjangkau film porno beragam genre sambil tiduran di atas ranjang.
Orang-orang menghabiskan waktu yang amat banyak untuk mengkonsumsi film porno, kondisi yang membuat industri film porno sebagai salah satu bisnis paling menguntungkan di muka bumi. Pornhub, salah satu kanal porno terpopuler saat ini, sudah berusia satu dekade. Dalam rilis data bulan Januari lalu, disebutkan bahwa di tahun 2016 saja total durasi menonton konten porno di Pornhub yang dilakukan netizen sedunia mencapai 4.599.000.000 jam.
Angka ini setara dengan 191.625.000 hari, atau 27.375.000 minggu, atau 524.641 tahun, atau 52.464 dekade, atau 5.246 abad. Angka yang sama mengejutkannya ditemukan untuk berapa kali video-video di Pornhub telah diputar tahun lalu: 91.980.225.000 kali. Di antara bunyi klik tombol play-pause-stop itu, terdapat orang-orang yang bernasib sama dengan Mel: para pecandu yang merasa akses atas desahan palsu para aktor/aktris porno serupa dengan kebutuhan mengakses narkoba.
Banyak penelitian yang membuktikan kemiripan keduanya. Salah satunya digarap oleh para peneliti Wellcome Trust dari Departemen Psikiatri di University of Cambridge yang membandingkan aktivitas laki-laki yang kecanduan pornografi dengan relawan yang sehat dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengamati perubahan aktivitas otak yang disebabkan menonton video porno.
Hasilnya, menyatakan otak relawan yang menonton video porno menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi di tiga bagian otak: striatum ventral, dorsal anterior cingulate dan amigdala. Striatum ventral merupakan bagian yang terlibat dalam proses reward dan motivasi. Cingulate anterior dorsal terlibat dalam mengantisipasi penghargaan dan keinginan obat, sedangkan amigdala terlibat dalam pengolahan signifikansi peristiwa dan emosi. Ketiga bagian tersebut merupakan daerah yang juga bereaksi aktif pada para pecandu narkotika ketika diberi rangsangan obat.
Dalam pengalaman pribadi Weiss, mencari konten porno di pertengahan 1990-an membutuhkan usaha yang cukup kompleks: pakai baju, kendarai mobilmu, tuju bagian kumuh kota, dan beli majalah berisi perempuan bugil dengan pose menantang—tanpa ketahuan tetangga, bos, dan tentu saja si istri.
Kini, kata penulis buku Always Turned On: Sex Addiction in the Digital Age itu, bermodal ponsel pintar atau laptop yang tersambung ke internet, seseorang bisa menjangkau film porno beragam genre sambil tiduran di atas ranjang.
Orang-orang menghabiskan waktu yang amat banyak untuk mengkonsumsi film porno, kondisi yang membuat industri film porno sebagai salah satu bisnis paling menguntungkan di muka bumi. Pornhub, salah satu kanal porno terpopuler saat ini, sudah berusia satu dekade. Dalam rilis data bulan Januari lalu, disebutkan bahwa di tahun 2016 saja total durasi menonton konten porno di Pornhub yang dilakukan netizen sedunia mencapai 4.599.000.000 jam.
Angka ini setara dengan 191.625.000 hari, atau 27.375.000 minggu, atau 524.641 tahun, atau 52.464 dekade, atau 5.246 abad. Angka yang sama mengejutkannya ditemukan untuk berapa kali video-video di Pornhub telah diputar tahun lalu: 91.980.225.000 kali. Di antara bunyi klik tombol play-pause-stop itu, terdapat orang-orang yang bernasib sama dengan Mel: para pecandu yang merasa akses atas desahan palsu para aktor/aktris porno serupa dengan kebutuhan mengakses narkoba.
Banyak penelitian yang membuktikan kemiripan keduanya. Salah satunya digarap oleh para peneliti Wellcome Trust dari Departemen Psikiatri di University of Cambridge yang membandingkan aktivitas laki-laki yang kecanduan pornografi dengan relawan yang sehat dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengamati perubahan aktivitas otak yang disebabkan menonton video porno.
Hasilnya, menyatakan otak relawan yang menonton video porno menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi di tiga bagian otak: striatum ventral, dorsal anterior cingulate dan amigdala. Striatum ventral merupakan bagian yang terlibat dalam proses reward dan motivasi. Cingulate anterior dorsal terlibat dalam mengantisipasi penghargaan dan keinginan obat, sedangkan amigdala terlibat dalam pengolahan signifikansi peristiwa dan emosi. Ketiga bagian tersebut merupakan daerah yang juga bereaksi aktif pada para pecandu narkotika ketika diberi rangsangan obat.
Ekspektasi dan Potensi
Selingkuh
Konsumsi video maupun konten porno secara berlebihan tak
hanya berbahaya bagi para jomblo, tapi juga hubungan bersama pasangan. Konsumsi
konten pornografi akan mengalihkan fokus seksualnya bukan pada seseorang namun
pada subyek fantasi di luar sana, yang tak pernah orang tersebut temui, dan
tentu saja mengurangi loyalitas kepada pasangan. Candu video porno akhirnya
membuat seseorang terjebak dalam hubungan yang tak sehat.
Psikolog Nathaniel Lambert dan dua rekannya pernah merilis penelitian terkait persoalan ini di Journal of Social and Clinical Psychology pada tahun 2012 silam. Mereka bertanya pada partisipan (usia 17-26 tahun) yang sedang dalam hubungan, siapa yang konsumsi pornografinya tinggi.
Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi konten pornografi yang tinggi membuat komitmen kepada hubungan yang terjalin menjadi rendah. Baik laki-laki maupun perempuan punya kecenderungan serupa, tapi pada laki-laki ditemukan lebih kuat. Dalam riset lain Lambert bersama rekan yang berbeda namun dalam tema yang sama, yakni untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang imajinasi yang ditawarkan pornografi. Mereka menawarkan dua kemungkinan sebagai hipotesis: Pertama, fisik dan sensualitas para aktor maupun aktris film porno meningkatkan persepsi dan harapan pada fisik dan sensualitas pasangan. Kedua, konsumsi video porno membuat keinginan memiliki pasangan lain (baca: selingkuh) meningkat.
Hasil riset Lambert dkk yang dimuat di Jurnal Social Psychological and Personality Science edisi tahun 2013 itu kemudian membuktikan kedua hipotesis di atas. Penonton video porno secara reguler memang punya harapan agar sang pasangan memiliki apa yang dimiliki bintang porno favoritnya.
Lebih jauh lagi, mereka juga kerap memikirkan pasangan lain meski pasangan yang sekarang sudah memuaskan secara fisik maupun seksual. Dalam arti lain, kelebihan kecil yang dimiliki orang lain bisa jadi alasan yang cukup untuk mendorong seseorang berselingkuh dengan si pemilik kelebihan kecil itu.
Dalam ulasannya untuk Psychology Today, Michael Castleman, jurnalis San Fransisco yang telah 30 tahun lebih menulis tentang seksualitas, juga menyimpulkan bahwa dampak dari konsumsi konten porno secara berlebihan akan membuat persepsi seseorang terhadap pasangannya didasarkan pada subjek yang ditontonnya di video porno.
Dalam kasus-kasus yang pernah ia temui dan tulis dalam bukunya, ia selalu menemukan bahwa konsumsi video porno membuat ekspektasi seseorang jadi tak realistis, dan tentu saja mengganggu hubungan intim di atas ranjang.
Pada perempuan, misalnya, berekspektasi bahwa pasangan laki-lakinya pasti memiliki penis yang besar, mudah ereksi dalam berbagai situasi, ereksi bisa bertahan lama—termasuk saat menjalani hubungan seks, dan bisa ejakulasi sesuai dengan keinginan. Sementara itu, ekspektasi laki-laki pada perempuan pasangannya antara lain pasti punya sisi sensualitas yang tinggi, terobsesi untuk segera intercouse, pasti orgasme tiap kali berhubungan intim, dan lain sebagainya.
Meniru 100 persen semua adegan di video porno juga bisa berakibat fatal. Misalnya seks tanpa pelumas, seks "langsung tancap”, hingga seks tanpa pengaman. Dampaknya tak hanya membuat si pasangan tak menikmati hubungan intim, tapi juga menularkan penyakit seksual dari yang tipe ringan hingga yang berat.
Intinya, para pecandu video porno kerap lupa bahwa yang tersaji di layar gawainya itu diatur sedemikian rupa, sehingga ia cuma menampilkan kenyataan dalam porsi yang sedikit, alias tidak sepenuhnya.
Sumber : Tirto.id
Psikolog Nathaniel Lambert dan dua rekannya pernah merilis penelitian terkait persoalan ini di Journal of Social and Clinical Psychology pada tahun 2012 silam. Mereka bertanya pada partisipan (usia 17-26 tahun) yang sedang dalam hubungan, siapa yang konsumsi pornografinya tinggi.
Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi konten pornografi yang tinggi membuat komitmen kepada hubungan yang terjalin menjadi rendah. Baik laki-laki maupun perempuan punya kecenderungan serupa, tapi pada laki-laki ditemukan lebih kuat. Dalam riset lain Lambert bersama rekan yang berbeda namun dalam tema yang sama, yakni untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang imajinasi yang ditawarkan pornografi. Mereka menawarkan dua kemungkinan sebagai hipotesis: Pertama, fisik dan sensualitas para aktor maupun aktris film porno meningkatkan persepsi dan harapan pada fisik dan sensualitas pasangan. Kedua, konsumsi video porno membuat keinginan memiliki pasangan lain (baca: selingkuh) meningkat.
Hasil riset Lambert dkk yang dimuat di Jurnal Social Psychological and Personality Science edisi tahun 2013 itu kemudian membuktikan kedua hipotesis di atas. Penonton video porno secara reguler memang punya harapan agar sang pasangan memiliki apa yang dimiliki bintang porno favoritnya.
Lebih jauh lagi, mereka juga kerap memikirkan pasangan lain meski pasangan yang sekarang sudah memuaskan secara fisik maupun seksual. Dalam arti lain, kelebihan kecil yang dimiliki orang lain bisa jadi alasan yang cukup untuk mendorong seseorang berselingkuh dengan si pemilik kelebihan kecil itu.
Dalam ulasannya untuk Psychology Today, Michael Castleman, jurnalis San Fransisco yang telah 30 tahun lebih menulis tentang seksualitas, juga menyimpulkan bahwa dampak dari konsumsi konten porno secara berlebihan akan membuat persepsi seseorang terhadap pasangannya didasarkan pada subjek yang ditontonnya di video porno.
Dalam kasus-kasus yang pernah ia temui dan tulis dalam bukunya, ia selalu menemukan bahwa konsumsi video porno membuat ekspektasi seseorang jadi tak realistis, dan tentu saja mengganggu hubungan intim di atas ranjang.
Pada perempuan, misalnya, berekspektasi bahwa pasangan laki-lakinya pasti memiliki penis yang besar, mudah ereksi dalam berbagai situasi, ereksi bisa bertahan lama—termasuk saat menjalani hubungan seks, dan bisa ejakulasi sesuai dengan keinginan. Sementara itu, ekspektasi laki-laki pada perempuan pasangannya antara lain pasti punya sisi sensualitas yang tinggi, terobsesi untuk segera intercouse, pasti orgasme tiap kali berhubungan intim, dan lain sebagainya.
Meniru 100 persen semua adegan di video porno juga bisa berakibat fatal. Misalnya seks tanpa pelumas, seks "langsung tancap”, hingga seks tanpa pengaman. Dampaknya tak hanya membuat si pasangan tak menikmati hubungan intim, tapi juga menularkan penyakit seksual dari yang tipe ringan hingga yang berat.
Intinya, para pecandu video porno kerap lupa bahwa yang tersaji di layar gawainya itu diatur sedemikian rupa, sehingga ia cuma menampilkan kenyataan dalam porsi yang sedikit, alias tidak sepenuhnya.
Sumber : Tirto.id