Ilustrasi (Sumber: ChoopersGuide)
"Harjana Nanang Suryadi, Melawan HIV/AIDS di Lokasi Rawan."
Ini judul berita di Harian "KOMPAS" (7/12-2017). Dengan menyebut lokasi
rawan yang terkait dengan HIV/AIDS informasi kembali ke pemahaman umum di awal
epidemi.
Ketika kasus AIDS dipublikasikan di AS pada tahun 1981, semua mata
tertuju pada laki-laki gay karena kasus-kasus awal waktu itu terdeteksi pada
gay. Padahal, pada waktu yang bersamaan di wilayan timur AS kasus-kasus AIDS
juga terdeteksi pada perempuan pekerja seks.
Perkembangan informasi selanjutnya opini publikpun digiring bahwa
HIV/AIDS berkecamuk di tempat-tempat pelacuran. Namun, karena informasi
HIV/AIDS ketika itu, bahkan sampai sekarang, dibalut dengan norma, moral dan
agama maka informasi yang akurat pun digulung mitos (anggapan yang salah).
Padahal, kasus HIV/AIDS pada pekerja seks justru ditularkan oleh
laki-laki dengan orientasi seksual sebagai heteroseksual (tertarik paa lawan
jenis) yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Selanjutnya
ada pula laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS
yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.
Dalam perkembangan selanjutnya laki-laki yang menularkan HIVke pekerja
seks dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks jadi mata rantai
penularan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah
tangga merupakan indikator penyebaran HIV di masyarakat al. dilakukan oleh
laki-laki heteroseksual.
Kembali ke berita "KOMPAS" disebutkan: Dialah Harjana Nanang
Suryadi, petugas kesehatan yang sering menyamar ketika memantau lokasi-lokasi
yang rawan penyebaran HIV/AIDS. Nanang adalah Koordinator Bidang Infeksi
Menular Seksual Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten
Rokan Hilir, Riau (sekitar 200 kilometer utara Pekanbaru).
Pertama, untuk apa Nanang menyamar? Dalam sebuah wawancara dng alm Prof
Dr Parsudi Suparlan di kampus UI, waktu itu di Rawamangun, Jakarta Timur (tahun
1980-an), sekarang jadi UNJ (Universitas Negeri Jakarta), Parsudi mengatakan
bahwa tidak ada gunanya menyamar dalam kaitan dengan upaya mendekati suatu
komunitas karena mereka mengenal siapa saja yang jadi anggota komunitas mereka.
Parsudi punya pengalaman nyata yaitu ketika meneliti gelandangan di Jakarta.
Dengan menyamar dia malah tidak diterima di komunitas gelandangan Ibu Kota,
tapi setelah dia datang sebabagaiman layaknya peneliti dia pun diterima dengan
tangan terbuka.
Kedua, tidak ada lokasi yang rawan (penularan) HIV/AIDS karena HIV
adalah virus yang ada di dalam tubuh seseorang yang mengidap HIV/AIDS. Dalam
jumlah yang bisa ditularkan HIV ada di darah, air mani cairan vagina, dan air
susu ibu (ASI). Maka, selama tidak ada kontak fisik yang bersentuhan dengan
cairan-cairan itu tidak ada risiko penularan HIV.
Disebutkan pula: " .... Kompasikut bersama Nanang mendatangi
beberapa lokasi rawan penyebaran HIV/AIDS di sepanjang jalan lintas timur
Sumatera, wilayah Kabupaten Rokan Hilir."
Pernyataan ini menunjukkan pemahaman Nanang dan wartawan terkait dengan
HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Yang rawan bukan lokasi biar pun
ada pelacuran atau transaksi seks, tapi perilaku seksual laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di lokasi-lokasi itu. Ketika
laki-laki melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks dengan kondisi tidak
memakai kondon, maka laki-laki itu berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan
pekerja seks tsb. mengidap HIV/AIDS.
Perempuan pekerja seks seperti yang didatangai Nanang dan KOMPAS di
lokasi yang mereka sebut rawan itu adalah orang-orang yang berisiko tinggi
tertular HIV/AIDS karena mereka sering melakukan hubungan seksual dengan
laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Karena bisa saja salah satu dari laki-laki yang pernah mereka layani mengidap
HIV/AIDS sehingga mereka berisiko tertular HIV.
Ada lagi pernyataan: " .... lokasi rawan dengan istilah hotspot.
Tempat yang didatangi adalah warung-warung dan kafe-kafe kecil yang halamannya
dipenuhi truk yang parkir. Warung dan kafe di sana biasanya menyediakan
perempuan penjaja seks."
Sepanjang hidup saya baik sebagai warga maupun wartawan dan bloggor
saya belum pernah lihat perempuan menjajakan, maaf, vaginanya untuk sebagai
transaksi seks. Dalam KBBI disebut jaja adalah menawarkan (barang) dengan
berkeliling. Pemakaian kata penjaja seks kepada perempuan merendahkan harkat
dan martabat mereka sebagai makhluk Tuhan.
Yang ada dan kasat mata adalah laki-laki, bahkan yang beristri,
mendatangi tempat-tempat pelacuran untuk melepas hasrat seksualnya melalui zina
dengan bayaran tertentu. Celakanya, banyak orang yang hanya melihat dan
menimpakan kesalahan kepada pekerja seks sehingga laki-laki pezina dengan
pelacur lolos stigma (cap buruk). Mereka lolos dari stigma tapi tidak bisa
lepas dari risiko tertular HIV dan kemudian menularkan HIV ke istrinya.
Pernyataan ini jelas balutan moral: Setelah pengamatan malam hari, di
siang hari Nanang dan timnya yang berjumlah lima orang, termasuk istrinya, Dewi
Marisa Sari, secara berkala melakukan penyuluhan tentang perilaku hubungan seks
yang sehat.
Apa yang dimaksud dengan 'perilaku hubungan seks yang sehat'? Ini
jargon moral yang tidak membumi dan menyesatkan.
Terkait dengan pencegahan HIV yang dikenal adalah seks yang aman yaitu:
(a) hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang
tidak mengidap HIV/AIDS,
(b) hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti dengan memakai
kondom, dan
(c) hubungan seksual dengan dengan memakai kondom dengan seseorang yang
sering melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti.
Ada lagi pernyataan: "Jumlah hotspot di Rokan Hilir
mencapai 113 titik. Tersebar di 15 kecamatan, mulai dari pinggir jalan, di
dekat permukiman penduduk, sampai ke tepi laut. Lokasi itu sangat rawan. Dalam
lima tahun terakhir, orang dengan HIV/AIDS mencapai 200 orang. Di wilayah kami,
terdapat 24 orang dengan HIV/AIDS dan 9 di antaranya meninggal," ujar
Nanang.
Tidak jelas apa kaitan langsung hotspot itu dengan kasus HIV/AIDS di
wilayah Nanang. Soalnya, biar pun di 113 titik hotspot itu ada pekerja seks
yang mengidap HIV/AIDS tidak
Mungkin virus HIV menjalar ke permukiman penduduk.
Pernyataan yang tidak akurat itulah salah satu informasi yang tidak
mencerahkan masyarakat dan menyuburkan mitos yang sama sekali tidak mendukung
program penanggulangan HIV/AIDS. *
Rote Ba'a, NTT, 7/1-2018