Pengobatan Massal di Papua. Sumber: www.antarafoto.com
Oleh: Redaksi.
Sebagaimana
tercantum pada pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, “kesehatan adalah hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia”,
serta pada Pasal 1 (1) yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan faktor penting
bagi manusia untuk dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
Pasal 59 (3), dinyatakan pula bahwa setiap penduduk Papua memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
Ketetapan
dalam Undang-Undang tersebut mencerminkan bahwa kesehatan merupakan masalah
yang penting untuk ditanggapi oleh kita semua. Penetapan kebijakan oleh
pemerintah menunjukkan bagaimana komitmen negara dalam menanggulangi masalah
tersebut. Namun demikian, pengejawantahan peraturan mengenai pelayanan
kesehatan ini belum berjalan secara maksimal. Hal ini terlihat dari peningkatan
angka kesehatan di Indonesia belum menunjukkan kecenderungan yang berarti.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh Kompas.com, mengutip
laporan Indeks Pembangunan Manusia, keluaran Program Pembangunan PBB 2013, angka
kematian ibu (AKI) sebagai salah satu isu yang paling penting, masih berada di
tingkat 220 per 100.000 kelahiran hidup. Laporan Kompas.com ini
juga memaparkan pendapat Endang L. Achadi, Koordinator Positive
Deviance Resource Centre Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Menurut Endang, kondisi ini, salah satunya, disebabkan oleh
ketiadaan fasilitas rumah sakit yang mampu melayani kegawatdaruratan di 40
persen kabupaten di Indonesia, khususnya di kawasan Indonesia bagian Timur
(Anna, 2013).
Di
wilayah Indonesia bagian Timur, Papua merupakan daerah yang cukup menyita
perhatian dunia terkait masalah kesehatan. Buruknya tingkat kesehatan di Papua
ini, antara lain mencakup empat hal, yakni kesehatan ibu dan anak dan gizi masyarakat,
penyakit menular malaria, tuberculosis(TB), dan HIV-Aids
(http://www.suarapembaruan.com, 11 Oktober 2013). Sesuai pernyataan Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih, dr. Watofa, Sp.R., bahwa
berdasarkan hasil riset kesehatan nasional dan daerah yang dilakukan pada tahun
2013, angka kematian ibu dan anak di Papua dan Papua Barat merupakan yang
tertinggi di Indonesia (Master, 2013). Sebuah penelitian di Timika, sebagai
salah satu contoh kasus, menunjukkan bahwa resiko malaria, seringkali infeksinya
telah dimulai saat lahir dan tanpa disengaja, dan menjadi faktor mortalitas
(angka kematian) ibu dan anak di wilayah tersebut (Poespoprodjo, 2011).
Sementara itu, pada laporan yang lain, mengutip pernyataan Dirjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Prof. Tjandra Yoga
Aditama, kasus malaria di Indonesia bagian Timur, seperti Papua, Papua barat,
Maluku dan Nusa Tenggara Timur, masih terbilang tinggi dengan Annual
Parasitical Index (API) sebesar lebih dari 20 per 1.000 penduduk
(Master, Malaria di Papua Tertinggi, 2013).
Sementara
itu, untuk kasus penyakit TB, penemuan kasus di Provinsi Papua masih 76% (jauh
dari target 90%), dengan perkiraan angka sebesar 2,1 per 1.000 penduduk (Anna,
Penanganan TB di Daerah Masih Terkendala, 2011). Di tahun 2012, berdasarkan
laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, tercatat ada 306 kasus TB di
Kabupaten Jayapura (http://www.suluhpapua.com, 29 Agustus, 2013), namun pada
laporan berita yang lain, disebutkan bahwa ada 477 kasus, di mana 417 penderita
dapat disembuhkan, 15 penderita meninggal, dan 45 lainnya merupakan kasus gagal
(http://bintangpapua.com, 18 Februari, 2013).
Pengobatan Massal di Papua. Sumber: www.antarafoto.com
Yang lebih mengkhawatirkan,
permasalahan penyebaran penyakit TB ini pun sesungguhnya memiliki hubungan
dengan infeksi HIV-Aids (Kantipong, Murakami, Moolphate, Aung, & Yamada,
2012). Rendahnya daya tahan tubuh para penderita HIV-Aids menyebabkannya sangat
rentan terserang TB sehingga meningkatkan resiko kematian (Green, 2006).
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Papua
merupakan daerah yang sangat rawan penyebaran HIV-Aids, dengan nilai prevalensi
sebesar 2,4%, yang berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita yang
cukup tinggi setiap tahunnya. Laporan dari Kementrian Kesehatan menunjukkan
bahwa terdapat 13.942 kasus HIV-Aids di Provinsi Papua, dan memiliki
kecenderungan yang terus meningkat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (Dagur,
2012). Untuk kasus sektoral HIV-Aids sendiri, pada contoh lokasi di Kabupaten
Jayawijaya, Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten
Jayawijaya memaparkan bahwa per September 2013, kasus HIV-Aids di daerah
tersebut mencapai angka 3.655 kasus. Rinciannya, yakni bermula dari 920 kasus
HIV dan 2.735, mengalami penambahan sebanyak 209 kasus di Bulan Juli, 2013, 76
kasus di Bulan Agustus, 2013, dan 97 kasus di Bulan September, 2013
(Adisubrata, 2013).
Sumber foto: http://cloud.papua.go.id
Kenyataan
sosial di Papua saat ini, sebagaimana yang telah dicoba paparkan secara ringkas
di atas, menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan di Papua belum mengarah
kepada perbaikan kondisi yang berarti. Bahkan, masih ada dugaan masalah
kesehatan ini akan terus bertambah. Faktor-faktor yang menguatkan dugaan itu,
antara lain adalah mengingat luas wilayah Papua dengan sebaran penduduk dan
pelayanan kesehatan yang tidak merata, jarak rata-rata antara pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas) yang satu dengan yang lain terbilang cukup jauh
(rata-rata 1.200 km2), pemekaran wilayah administratif yang terus terjadi bagi
lokasi-lokasi yang ada di Papua, serta akses terhadap layanan dan informasi
kesehatan yang relatif rendah bagi masyarakat di Papua (Kolaitaga, 2013). Hingga
pertengahan tahun 2013, laporan dari Tabloidjubi.com pada Bulan Mei, 2013 menyatakan
bahwa program-program pemerintah setempat belum mampu menyelesaikan
masalah-masalah kesehatan yang ada di Papua (Loen, 2013). Artikel berita itu
juga menyebutkan bahwa faktor lain yang tak kalah berarti, yang menyebabkan
masalah ini tak kunjung usai, ialah keberadaan dan kesadaran masyarakat yang
berada di lokasi-lokasi terpencil. Kondisi kultural di Papua memposisikan
penduduknya menjadi pekerja keras yang sibuk sehingga mengakibatkan mereka abai
terhadap kewajiban memeriksakan kesehatan diri, khususnya di kalangan
perempuan.
Sumber Foto: http://cloud.papua.go.id.
Berdasarkan
pemaparan tersebut, dapat kita sadari bahwa masalah kesehatan, khususnya untuk
konteks di Papua, merupakan masalah besar yang perlu mendapat perhatian kita
bersama. Perlu digagas sekaligus diejawantahkan strategi-strategi baru dalam
menanggulangi masalah tersebut dalam rangka mensiasati kekurangan atau
kelemahan dari aksi-aksi yang telah sempat dilakukan, baik oleh pemerintah
maupun pemangku kepentingan lainnya.