RSUD WAMENA Geogle Foto
Wamena –Masyarakat
Papua di perkampungan kabupaten Jayawijaya masih menyimpan trauma besar
terhadap Negara Indonesia. Trauma ini menyebabkan mereka sering berpikiran
negara berniat menghabisi Orang Asli Papua (OAP). Keyakinan masyarakat ini
semakin diperkuat dengan beberapa pengalaman terhadap layanan kesehatan di
Kabupaten Jayawijaya. Menurut masyarakat di perkampungan, orang yang berobat
tak pernah sembuh namun berakhir pada kematian.
Minggu (15/05/2016) , di salah satu kampung Kabupaten Jayawijaya, Papua masyarakat hendak melaksanakan upacara kedukaan atas meninggalnya salah seorang tokoh masyarakat di kampung tersebut. Pada kesempatan itu seorang kepala suku berinisial YW memberikan pengumuman agar masyarakat Papua tidak serta-merta percaya terhadap layanan kesehatan yang diberikan paramedis di kabupaten Jayawijaya karena tidak ada keselamatan buat orang yang berobat.
“Bapak ibu kalau sakit jangan langsung ke rumah sakit, karena rumah sakit itu mereka mau kasih habis kita orang Papua. Ada penyakit yang gampang sembuh tapi kita tidak perna sembuh, selalu pulang mayat dari rumah sakit di Wamena ini” kata YW serius ,dihadapan masyarakat yang hendak mengikuti upacara duka tersebut.
Lanjutnya, kalau hendak berobat dan diberikan obat dari rumah sakit, mestinya diperhatikan secara baik obat tersebut karena bisa jadi isinya malah racun.
“Bila perlu kasih ke anak-anak kita yang sudah sekolah supaya baca dulu baru kita minum. Jangan langsung minum obat itu, nanti kita mati. Indonesia ini biasa sengaja kasih habis kita,” katanya lagi dalam bahasa daerah.
Kecurigaan tersebut muncul setelah keluarga menceritakan kronologi kematian kepala suku setempat yang hendak dilakukan upacara dukanya.
“Bapak ini sakit sesak napas. Dokter bilang lendir tutup pori-pori pernapasan jadi sore kita bawa masuk di UGD, malamnya meninggal di UGD juga,” ungkap seorang pendeta yang hadir dalam upacara duka, menjelaskan kepada keluarga yang menjenguk.
Ketidakpercayaan masyarakat ini semakin diperkuat dengan cerita pengalaman salah satu keluarga duka di kampung tersebut yang mencurigai petugas kesehatan hendak melakukan praktek yang salah terhadap keluarganya
“Waktu itu saya punya keluarga (istri) sakit, kita masuk rumah sakit. Ada suster yang pasang infus, lalu infus itu belum habis, ada laki-laki satu yang datang. Dia berpakaian dinas mantri, dia mau ganti infus, padahal baru pasang. Untung istri saya sempat buka mata dan langsung tanya kenapa mau ganti, kan baru pasang? Lalu tiba-tiba mantri itu kabur,” ungkap seorang kepala suku lainnya di kampung tersebut yang bernama Boni.
Beberapa kepala suku yang hadir pada kedukaan tersebut secara bergantian memberikan himbauan bersifat antisipasi terhadap kepunahan orang papua. Mereka meyakini banyak cara menghabiskan OAP diantaranya melalui Miras (Minuman Keras), HIV/AIDS dan penembakan terhadap OAP serta minimnya layanan kesehatan.
Dalam tradisi adat-istiadat masyarakat di pegunungan, upacara adat kedukaan merupakan waktu yang biasanya digunakan untuk memberikan himbauan atas ancaman atau apapun informasi penting untuk kalangan masyarakat adat. Jika di wilayah adat tersebut diperkirakan akan mengalami kondisi tertentu, seorang kepala suku akan menyampaikan himbauan-himbauan bersifat antisipatif kepada masyarakat. Selain dibicarakan secara terbuka honai juga merupakan tempat para tua adat mendiskusikan beberapa persoalan di kampungnya. (*)
Sumber :tabloidjubi.com
Minggu (15/05/2016) , di salah satu kampung Kabupaten Jayawijaya, Papua masyarakat hendak melaksanakan upacara kedukaan atas meninggalnya salah seorang tokoh masyarakat di kampung tersebut. Pada kesempatan itu seorang kepala suku berinisial YW memberikan pengumuman agar masyarakat Papua tidak serta-merta percaya terhadap layanan kesehatan yang diberikan paramedis di kabupaten Jayawijaya karena tidak ada keselamatan buat orang yang berobat.
“Bapak ibu kalau sakit jangan langsung ke rumah sakit, karena rumah sakit itu mereka mau kasih habis kita orang Papua. Ada penyakit yang gampang sembuh tapi kita tidak perna sembuh, selalu pulang mayat dari rumah sakit di Wamena ini” kata YW serius ,dihadapan masyarakat yang hendak mengikuti upacara duka tersebut.
Lanjutnya, kalau hendak berobat dan diberikan obat dari rumah sakit, mestinya diperhatikan secara baik obat tersebut karena bisa jadi isinya malah racun.
“Bila perlu kasih ke anak-anak kita yang sudah sekolah supaya baca dulu baru kita minum. Jangan langsung minum obat itu, nanti kita mati. Indonesia ini biasa sengaja kasih habis kita,” katanya lagi dalam bahasa daerah.
Kecurigaan tersebut muncul setelah keluarga menceritakan kronologi kematian kepala suku setempat yang hendak dilakukan upacara dukanya.
“Bapak ini sakit sesak napas. Dokter bilang lendir tutup pori-pori pernapasan jadi sore kita bawa masuk di UGD, malamnya meninggal di UGD juga,” ungkap seorang pendeta yang hadir dalam upacara duka, menjelaskan kepada keluarga yang menjenguk.
Ketidakpercayaan masyarakat ini semakin diperkuat dengan cerita pengalaman salah satu keluarga duka di kampung tersebut yang mencurigai petugas kesehatan hendak melakukan praktek yang salah terhadap keluarganya
“Waktu itu saya punya keluarga (istri) sakit, kita masuk rumah sakit. Ada suster yang pasang infus, lalu infus itu belum habis, ada laki-laki satu yang datang. Dia berpakaian dinas mantri, dia mau ganti infus, padahal baru pasang. Untung istri saya sempat buka mata dan langsung tanya kenapa mau ganti, kan baru pasang? Lalu tiba-tiba mantri itu kabur,” ungkap seorang kepala suku lainnya di kampung tersebut yang bernama Boni.
Beberapa kepala suku yang hadir pada kedukaan tersebut secara bergantian memberikan himbauan bersifat antisipasi terhadap kepunahan orang papua. Mereka meyakini banyak cara menghabiskan OAP diantaranya melalui Miras (Minuman Keras), HIV/AIDS dan penembakan terhadap OAP serta minimnya layanan kesehatan.
Dalam tradisi adat-istiadat masyarakat di pegunungan, upacara adat kedukaan merupakan waktu yang biasanya digunakan untuk memberikan himbauan atas ancaman atau apapun informasi penting untuk kalangan masyarakat adat. Jika di wilayah adat tersebut diperkirakan akan mengalami kondisi tertentu, seorang kepala suku akan menyampaikan himbauan-himbauan bersifat antisipatif kepada masyarakat. Selain dibicarakan secara terbuka honai juga merupakan tempat para tua adat mendiskusikan beberapa persoalan di kampungnya. (*)
Sumber :tabloidjubi.com